Rumah Burung Walet Menjawab Tantangan Pelestarian Hutan

Keberadaan rumah burung walet di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah terbukti menjadi sarana pertanian berkelanjutan (Sustainable Agriculture).

Reporter :

Terbit :

Durasi Baca ± 5 MENIT

Facebook
Twitter
LinkedIn

Keberadaan rumah burung walet di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah terbukti menjadi sarana pertanian berkelanjutan (Sustainable Agriculture). Hal tersebut dapat diketahui dari hasil amatan sejumlah ilmuwan dalam penelitian berjudul ‘A Sustainable Way of Agricultural Livelihood: Edible Bird’s Nests in Indonesia’, yang terbit di jurnal Ecosystem Health and Sustainability, Vol. 7.

Dilansir dari ResearchGate.net Rabu (12/3), para ilmuwan dalam penelitian tersebut menjelaskan bahwa pertanian burung walet pada dasarnya sangat bergantung pada sumber daya alam yang ada di hutan sekitar rumah burung. Oleh karena itu pula pertanian burung walet umumnya menuntut adanya kelestarian dan keanekaragaman hayati lingkungan sekitar untuk menjaga keberlangsungan ekosistem pertanian itu sendiri. 

Mereka yang tergabung dalam penelitian yakni, Y. Ito dari Universitas Shimane, Yuki Yamamoto, Universitas Nagasaki, Ken’ichi Matsumoto, Universitas Toyo, Jepang dan Aswin Usup, Universitas Palangka Raya menjelaskan bahwa studi ini pada dasarnya meneliti manfaat ekonomi hutan tropis, sekaligus mengeksplorasi dampak faktor sosial dan sumber daya alam terhadap produksi rumah burung walet. Data yang mereka gunakan sudah dikumpulkan terlebih dahulu pada 2017, namun kemudian dikombinasikan dengan data satelit tentang luas hutan di Kalimantan Tengah.

“Kami mengukur efisiensi produksi dan mengidentifikasi faktor alam dan sosial yang meningkatkan kinerja produksi. Hasilnya menunjukkan bahwa hutan seluas 2.000 hingga 6.000 meter dari bangunan rumah burung berhubungan positif dengan efisiensi produksi pertanian burung walet, mungkin karena hutan yang luas dapat membantu burung walet mengumpulkan makanan,” terang Ito dan tim.

Sebagaimana diketahui sarang burung walet pada dasarnya dihasilkan dari air liur burung walet sarang putih (Aerodramus fuciphagus). Burung ini bertahan hidup dengan memakan organisme hidup seperti serangga atau artropoda terbang di hutan sekitar rumah burung atau yang masih berada dalam radius makan aktif burung walet.

Adanya kesinambungan antara aspek produksi sarang di rumah burung walet dengan keanekaragaman hayati di hutan sekitar seperti inilah, yang kemudian dirasa menjadi implikasi penting bagi upaya pengelolaan hutan di Indonesia. Pasalnya upaya pengelolaan hutan selama ini kerap dinilai kurang efektif memberikan manfaat ekonomi, karena dalam perumusannya kurang memiliki pertimbangan yang variatif di luar ide penyerapan karbon. 

Padahal menurut Ito dan tim, hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata pendapatan tahunan dari pertanian sarang burung walet mencapai 14 kg dengan harga jual sebesar Rp. 7.794.000 per kg (USD 538) atau sebesar Rp. 109 juta (USD 7.638) per tahun. Menurut mereka, pendapatan ini layak disandingkan dengan hasil panen produk pertanian lainnya seperti padi, karet, atau sawit di Kalimantan Tengah.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa hutan dapat memberikan kontribusi bagi mata pencaharian petani. Berbagai penelitian telah memperkirakan pendapatan dari produksi padi atau perkebunan kelapa sawit di Indonesia, tetapi kami telah menunjukkan bahwa produksi sarang burung walet merupakan sumber pendapatan penting bagi petani dan lebih menarik daripada produksi padi. ​​Bukti hubungan antara luas hutan dan produksi sarang burung walet ini juga dapat mendukung pertanian berkelanjutan dalam konservasi hutan di Indonesia,” terang Ito dan tim.

Ito dan tim dalam makalah penelitiannya juga menambahkan beberapa catatan mengenai pertanian sarang burung walet. Pertama terkait konstruksi rumah burung. Rumah burung walet yang dibangun menggunakan beton dirasa lebih baik dari pada rumah burung yang dibangun menggunakan kayu. Hal ini berhubungan dengan perilaku tradisional membangun sarang burung walet di gua dimana mereka lebih menyukai gua karena memiliki kelembaban tinggi dan suhu rendah.

Adapun catatan kedua Ito dan tim berhubungan dengan stabilitas hasil panen. Menurut mereka 10 dari 50 pemilik bangunan (20%) yang diwawancarai sebagai bahan penelitian melaporkan bahwa total produksi mereka sempat surut bahkan kurang dari 3 kg pada periode Desember 2015 hingga November 2016. Masalah produktivitas dan stabilitas ini harus dicarikan solusi agar pertanian SBW tetap menjadi metode pertanian yang lebih layak dan berkelanjutan, baik untuk mata pencaharian petani maupun upaya pelestarian hutan itu sendiri.

Terbaru

Artikel terkait

Utama

Populer