Sejumlah mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengembangkan penelitian eksperimental terkait pemeliharaan massal (mass rearing) ngengat beras (Corcyra cephalonica) sebagai pakan alternatif burung walet (Aerodramus fuchipagus). Dilansir dari jurnal Life Science 12, pada Rabu (19/3), mereka menyebut bahwa produksi telur ngengat beras dapat berjalan secara maksimal apabila dipelihara menggunakan media campuran jagung, dedak, dan beras.
Lebih lanjut, tim peneliti yang terdiri dari Nur Darmayanti, Bambang Priyono, dan Margareta Rahayuningsih, serta didukung Rosichon Ubaidillah, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu menjelaskan bahwa media yang halus seperti dedak cukup mempermudah larva ngengat beras saat mengkonsumsi pakan tersebut serta mempermudah larva saat menggulung pakan menggunakan serat sutranya. Oleh karena itu pula, perkembangan larva menjadi lebih optimal dan kemunculan imago menjadi lebih banyak.
“Jika kemunculan imago banyak maka dapat menghasilkan telur yang banyak. Artinya, partikel media pakan juga mempengaruhi produksi telur. Media pakan jagung dan dedak saling menyuplai pada komposisi beras yang banyak. Namun, apabila komposisi beras dikurangi hasil produksi telurnya sedikit, sehingga media pakan jagung dan dedak melengkapi media beras,” terang Nur dan tim.
Nur dan tim menambahkan bahwa komposisi yang tepat untuk media pakan campuran dalam eksperimen ini terdiri dari jagung 25%, dedak 25%, dan beras 50%. Pertumbuhan larva ngengat beras juga akan semakin cepat bila didukung dengan suhu dan kelembaban yang optimal. Umumnya, larva ngengat beras tumbuh dalam suhu 28±2 °C dan kelembaban 75±5 %. Namun dalam eksperimen kali ini, Nur dan tim mendapati larva ngengat beras tumbuh di kisaran 26,4 – 30,5°C dan kelembaban ruangan di kisaran 67-98%.
Melalui eksperimen kali ini, Nur dan tim berharap pemeliharaan massal ngengat beras dapat menjadi solusi ketersedian pakan burung walet, sekaligus menarik perhatian mereka untuk tetap tinggal di dalam rumah burung yang telah dibangun para petani. Lebih dari itu, mereka juga berharap metode ini dapat mendukung kelestarian, bahkan mendorong pertumbuhan populasi burung walet.
“Faktor lingkungan menjadi pendorong timbulnya inovasi pakan untuk burung walet. Hal ini, karena kondisi lingkungan yang berubah sehingga pakan untuk burung walet juga berkurang. Perubahan lingkungan ini, dapat terjadi karena salah satunya disebabkan oleh ulah manusia. Imbasnya burung walet susah untuk mendapatkan pakan alami, sehingga menyebabkan metabolisme kurang bagus, apabila metabolismenya kurang bagus maka reproduksi burung walet tidak bagus. Hal ini, menyebabkan produksi sarang burung walet menjadi menurun. Jika reproduksinya terganggu, telur yang dihasilkan sedikit maka pembuatan sarang juga akan terganggu. Oleh sebab itu, harus dilakukan inovasi mass rearing serangga sebagai pakan burung walet,” ungkap Nur dan tim.